Mengurai Makna Pendidikan Bagi Anak
Berharap agar bangsa Indonesia pada masa depan menjadi ‘pemimpin’ dalam kompetisi global bukanlah suatu hal yang mustahil. Namun kita perlu menyadari, bahwa kunci terpenting untuk mewujudkan semua itu terletak pada pentingnya pendidikan dalam pembentukan generasi muda yang unggul dan berdaya saing tinggi. Ada dua tema besar mengenai peran pendidikan dalam membentuk sumber daya manusia berkualitas. Pertama, pendidikan sebagai kesadaran kritis. Kedua, pendidikan sebagai pembentuk kepribadian generasi muda.
Pendidikan sebagai kesadaran kritis
Secara ‘eksplisit’ fungsi pendidikan berguna untuk membebaskan masyarakat dari buta huruf, membuat masyarakat mampu berhitung, sehingga dapat meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sedangkan secara ‘implisit’, fungsi pendidikan membekali masyarakat untuk menyadari realitas zaman dengan seperangkat sikap, cara pandang, dan nilai-nilai yang berguna di masa mendatang. Dalam buku “Cultural Action for Freedom” (1970) karya Paulo Freire—tokoh pendidikan asal Brasil, pendidikan membuat manusia berada dalam tahap kesadaran transitif-kritis. Tahap kesadaran ini muncul tatkala manusia mulai mempercayai bahwa realitas adalah masalah yang harus di cari solusi penyelesaiannya. Ciri yang paling khas dari kesadaran ini menurut Freire adalah penangkapan situasi persoalan dengan sikap yang menyeluruh, matang, dan lebih kritis (Freire, 1970: 68-70).
Berangkat dari ciri tadi, pendidikan cenderung mendorong manusia untuk berpikir dan bertindak terhadap realitas zaman yang “mengungkung” mereka dalam penderitaan. Mereka sadar bahwa kemiskinan adalah realitas yang menyengsarakan. Melalui serangkaian proses metodologis dan praktis, mereka berusaha sekuat tenaga agar keluar dari jeratan kemiskinan. Sebab dengan pendidikanlah, manusia dapat melakukan mobilitas vertikal keatas, menuju ke sebuah kehidupan tanpa “embel-embel” miskin. Disini rantai kemiskinan dapat dipotong. Orang akan sangat mudah untuk bisa “terserap” dalam dunia kerja jika ia memiliki kapabilitas/kemampuan. Tanpa melupakan faktor-faktor lain, pendidikan terbukti merupakan unsur dominan yang “menempa” manusia agar menjadi pribadi yang mempunyai kapabilitas unggul dengan didukung “atribut” tertentu yang memudahkan mereka bisa terserap dalam dunia kerja. Nasib mereka yang mengeyam pendidikan tentu jauh lebih baik dibanding yang tidak. Perekonomian negara yang mayoritas masyarakatnya mengenyam pendidikan, lazimnya jauh lebih sejahtera dibanding dengan masyarakat pada suatu negara yang tidak mengenyam pendidikan. ‘Pola pikir’ dan ‘cara pandang’ terhadap “dunia” yang membuat masyarakat berpendidikan “berbeda” dan selangkah lebih maju dibanding mereka yang tidak berpendidikan. Jika masyarakat tidak berpendidikan hanya berorientasi pada masa kini yang cenderung konsumtif dan “sesaat”, maka masyarakat berpendidikan jauh berorientasi ke depan dengan menanamkan nilai-nilai “keberlanjutan” pada saat ini.
Pendidikan sebagai pembentuk kepribadian anak
Pendidikan bagi setiap anak adalah penting. Dengan pendidikan, anak dapat tumbuh dan berkembang. Tumbuh dan berkembang merupakan hak dasar anak dari empat hak dasar lainnya dalam Konvensi Hak Anak. Hak atas pendidikan termaktub dalam Konvensi Hak Anak yang isinya: “Negara-negara peserta mengakui hak anak atas pendidikan dengan tujuan mencapai hak ini secara bertahap dan berdasarkan kesempatan sama, khususnya akan membuat pendidikan dasar dan tersedia cuma-cuma untuk semua anak. Penekanan terhadap pentingnya pendidikan bagi anak juga disuarakan kembali dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam special session yang ke-27 pada tanggal 10 Mei 2002, salah satu butirnya berbunyi: “Dunia yang layak bagi anak adalah dunia dimana semua anak mendapatkan awal kehidupan yang sebaik mungkin dan mempunyai akses kepada pendidikan dasar yang bermutu, termasuk kepada pendidikan dasar yang bersifat wajib dan tersedia tanpa bayaran, bagi semua, dunia di mana semua anak-anak, termasuk para remaja memiliki peluang cukup besar untuk mengembangkan kapasitas individual mereka dalam lingkungan yang aman dan suportif.
Lantas apa kaitannya pendidikan sebagai pembentukan kepribadian ‘generasi muda’ yang dapat disimbolkan dengan anak-anak? Keterkaitan erat pendidikan dengan kepribadian anak terletak pada ‘pola pikir’ dan ‘cara pandang’ mereka terhadap “dunia”. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak. Karena dalam dunia pendidikan anak, terjadi proses perkembangan baik secara ‘kognitif’ dan ‘sosioemosional’. Kedua aspek ini yang sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak. Proses kognitif meliputi perubahan pada pemikiran, intelegensi, dan bahasa individu. Proses sosioemosional meliputi perubahan pada relasi individu dengan orang lain, perubahan pada emosi, dan perubahan pada kepribadian. Anak-anak yang mengikuti kegiatan pendidikan secara otomatis diperkenalkan dengan berbagai macam pengetahuan, baik ilmu sosial maupun eksakta yang pada akhirnya meningkatkan aspek kognitif mereka. Dalam dunia pendidikan juga memberikan kesempatan kepada anak untuk lebih banyak berinteraksi dengan rekan-rekan sebayanya, baik positif maupun negatif. Proses tersebut membuat anak dewasa secara sosial dalam arti lebih percaya diri, mengekspresikan diri secara verbal, mengetahui dunia sosial, dan bisa menyesuaiakan diri dengan kehidupan sekitar. Bandingkan dengan anak yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Mereka biasanya “tertinggal” secara kognitif. Dalam aspek sosioemosional mereka kurang berkompeten secara sosial dalam arti kurang sopan, kurang kooperatif dengan teman sebayanya, dan ada kecenderungan untuk kurang tunduk terhadap peraturan.
Gambaran seperti apa dimana usia anak merupakan usia yang tepat untuk menerima pendidikan, agar tercipta manusia yang berdaya saing unggul. Pandangan John Locke barangkali patut kita simak. Ia mengatakan bahwa anak ibarat “kertas kosong”, suatu tabula rasa. Kita isi kertas itu dengan ragam warna dan konfigurasi apapun, niscaya anak akan sesuai dengan “bentukan” yang kita inginkan. Dengan kata lain, fase anak-anak merupakan fase determinan dalam keseluruhan kehidupan mereka selanjutnya. Sigmund Freud, seorang Psikoanalitis yakin bahwa pengalaman-pengalaman merupakan kunci perkembangan dalam 5 tahun pertama (Santrock, 2002: 28). Meskipun banyak perdebatan yang mengiringi teori Freud, pernyataan diatas mencoba ingin mengatakan bahwa pengalaman-pengalaman pade fase 5 tahun pertama sangat penting, karena sangat mempengaruhi kehidupan berikutnya. Kasus menarik penulis jumpai dalam dinamika suatu yayasan ISCO (Indonesian Street Children Organization) yang memberikan program pendidikan bagi anak-anak miskin perkotaan di wilayah Jakarta Utara. Anak-anak yang sudah terlanjur turun ke “jalan” menjadi anak jalanan ketika usia pra sekolah, terbukti mengalami kendala dalam proses belajar di sanggar ISCO. Faktor pengalaman dan sosialisasi yang mereka terima dari orang tua maupun teman pergaulan (lingkungan) dalam usia pra sekolah membuat anak tadi tidak betah untuk menerima pelajaran, dan terlanjur untuk turun ke jalan dibanding duduk rapi mengikuti pelajaran sekolah. Ketika kebiasaan memegang uang sudah menjadi “gaya hidup”, mereka akan sekuat tenaga untuk turun jalan. Sebaliknya, jika “gaya hidup” tidak terpenuhi, mereka pun lebih memilih berada di jalan ketimbang di sekolah.
Sementara ada anak yang khawatir, sekolah dapat mengurangi konsumsi dan keinginan jajan mereka yang tergolong tinggi. Praktis waktu yang dialokasikan untuk turun ke jalan menjadi berkurang karena disibukkan dengan sekolah. Situasi demikian membuat pihak yayasan mengeluarkan mereka dari sanggar dan mencabut subsidi pendidikan mereka. Mindset anak-anak yang sudah terbentuk diusia 5 tahun pertama berupa “keasikan” turun jalan, sangat sulit dirubah pada fase-fase berikutnya. Hal tersebut pada akhirnya berpengaruh terhadap kepribadian si anak yang betah di jalan ketimbang duduk manis bermain dan belajar di sekolah, sekalipun sekolah tersebut digratiskan/disubsidi secara penuh. Peran orang tua untuk mengontrol anak agar mereka tidak turun ke jalan menjadi penting. Tapi tidak menutup kemungkinan, sifat laten itu dapat muncul kembali.
Oleh sebab itu, strategi dan pendekatan perlu digalakkan. Caranya dengan “membidik” anak ketika mereka masih dalam usia pra sekolah. Usia kisaran tersebut bagai “tabula rasa” yang siap diisi dengan berbagai macam warna sembari disosialisasikan/diberikan pengalaman-pengalaman positif bahwa belajar merupakan rutinitas yang mengasikan. Singkatnya, pengalaman pertama anak ini ibarat “masa emas” yang tidak boleh dilewatkan begitu saja, karena menyangkut kehidupan mereka berikutnya. Tentunya kita punya kepedulian lebih terhadap masa depan anak-anak. Seraya memposisikan kita sebagai busur kokoh yang dapat melesatkan anak-anak kita ke depan, demi kemajuan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar